Rabu, 26 Desember 2012

Sosial Emosional Anak Usia Dini


Seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi, perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu untuk diperhatikan. Saat ini, bukan merupakan pemandangan yang asing lagi bila seorang anak tampak sangat asyik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk nge-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila ada tamu datang ke rumah, ia tampak cuek, tidak bisa menunjukkan sikap bagaimana sebuah hubungan sosial mesti dibangun dengan orang lain, atau bahkan ia malah menunjukkan sikap sebaliknya, yakni sebuah rasa tidak suka karena merasa keasyikannya telah terganggu dengan adanya orang lain.


Keadaan yang seperti ini, di samping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga para orangtua mempunyai kecenderungan untuk tidak bisa meluangkan waktu lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan kerja, sehingga kalau sudah di rumah inginnya hanya istirahat karena kecapekan, atau kurangnya kesadaran bahwa menemani anak dalam tumbuh dan berkembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orangtua yang mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan kepada anak—misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau bahkan membelikan banyak mainan—atau agar tidak merepotkan orangtua.

Di samping hal tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini, bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah yang mempunyai aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya, sehingga seakan tak mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Untuk menambah jam belajarnya, di sekolah tak jarang diberikan waktu pagi di luar jam belajar formal, yang biasanya disebut sebagai jam nol. Sehingga, pagi-pagi sekali sang anak harus sudah berangkat ke sekolah. Begitu pula setelah pulang sekolah, sang anak akan les ini dan itu hingga sore hari. Atau, bagi siswa yang akan menghadapi ujian nasional, akan mendapatkan pelajaran tambahan lagi yang khusus membahas pelajaran yang masuk dalam ujian nasional. Dan, tak jarang, hal ini pun dilakukan hingga sore hari.

Pada suatu hari, penulis yang mempunyai aktivitas memberikan les privat kepada anak sekolah ketika sore hari tidak bisa menemani belajar salah seorang anak karena ada keperluan, penulis ingin meminta hari yang lain. Apa jawaban sang anak? Ternyata, dia sudah tidak mempunyai hari selain hari itu. Hari-hari yang lainnya dalam seminggu telah penuh dengan jadwal les privat. Lantas, penulis membatin dalam hati, “Kalau begitu, kapan waktu bermainnya?” Sebab, masa anak-anak adalah masa yang tidak boleh dihilangkan sama sekali dari dunia bermain. Apalagi, berkumpul dan berinteraksi dengan teman-teman sepergaulannya, yang sudah barang tentu akan berpengaruh kepada perkembangan jiwanya sebagai bagian dari makhluk sosial.

Kenyataan mengenai seorang anak yang disibukkan dengan dunianya sendiri, sebagaimana contoh di atas, seorang anak yang lebih asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu berupa PS, HP, komputer, atau benda teknologi lainnya, memang membuat anak tidak banyak keluar rumah, sehingga dia tidak dikhawatirkan terkena pengaruh buruk dari pergaulan di luar rumah—meskipun mengenai hal ini juga masih perlu untuk didiskusikan kembali karena teknologi juga tidak jarang memberikan dampak buruk walau anak tidak banyak keluar rumah. Atau, kenyataan seorang anak yang disibukkan dengan seabrek aktivitas belajar, dengan menambah les pelajaran ini dan itu, memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orangtua kebanyakan bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai di sekolahnya. Namun, kenyataan yang harus juga kita perhatikan, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan sosial.

Maka, tidak sedikit kita dapati di lingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi kecerdasan intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan bila diminta berkiprah di organisasi sosial, baik itu semacam karang taruna, remaja masjid, atau kelompok solidaritas tertentu. Inilah abak-anak yang cerdas secara intelektual, namun gagap dalam kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika ia telah menyelesaikan masa belajarnya, baik itu di sekolah maupun di kampus, mau tidak mau, sudah barang tentu ia akan hidup dan berinteraksi dengan orang lain; baik itu di lingkungan tempatnya bekerja maupun di tengah-tengah masyarakat.

Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Sebab, kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama lain sering bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi, persaingan yang sangat ketat di segala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan hubungan sosial semakin berkurang. Di sinilah pentingnya kecerdasan sosial pada anak untuk terus dikembangkan agar kelak anak-anak kita mampu hidup secara sosial dengan baik.

Betapa penting kecerdasan sosial dikembangkan karena saat ini juga masih banyak orangtua yang sangat bangga bila anaknya berhasil dalam studinya di sekolah yang ditunjukkan dengan nilai rapor yang bagus. Hal ini memang tidak salah, tetapi juga tidak bisa bila dikatakan benar seratus persen. Sebab, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual ternyata lebih berpengaruh bagi kesuksesan anak dalam kehidupannya di masa mendatang bila dibanding dengan kecerdasan intelektual.

Hal ini dapat kita ketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman (1995 dan 1998). Dalam penelitian tersebut, ternyata kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi dua puluh persen terhadap kesuksesan hidup sesorang. Sedangkan yang delapan puluh persen sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Bahkan, dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak empat persen saja.

Mengapa bisa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Sungguh, kemampuan—yang di antaranya—seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan di zaman yang semakin ketat dengan persaingan. Dengan demikian, semoga anak kita lebih mudah dalam meraih kesuksesan.

Semoga anak-anak kita tumbuh dan berkembang dengan baik,
Akhmad Muhaimin Azzet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar