Seiring dengan perkembangan zaman
yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi, perkembangan kejiwaan anak
pun mengalami perubahan yang sangat perlu untuk diperhatikan. Saat ini, bukan
merupakan pemandangan yang asing lagi bila seorang anak tampak sangat asyik
dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk nge-game atau
berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila ada tamu datang
ke rumah, ia tampak cuek, tidak bisa menunjukkan sikap bagaimana sebuah
hubungan sosial mesti dibangun dengan orang lain, atau bahkan ia malah
menunjukkan sikap sebaliknya, yakni sebuah rasa tidak suka karena merasa
keasyikannya telah terganggu dengan adanya orang lain.
Keadaan yang seperti ini, di samping
karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga para orangtua
mempunyai kecenderungan untuk tidak bisa meluangkan waktu lebih banyak lagi
bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan kerja, sehingga
kalau sudah di rumah inginnya hanya istirahat karena kecapekan, atau kurangnya
kesadaran bahwa menemani anak dalam tumbuh dan berkembangnya itu sangat besar
pengaruhnya bagi anak. Orangtua yang mempunyai kecenderungan seperti ini
biasanya justru memberikan kesibukan kepada anak—misalnya dengan belajar
tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau bahkan membelikan banyak
mainan—atau agar tidak merepotkan orangtua.
Di samping hal tersebut,
perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan kecerdasan
intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini, bukan hal yang
aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah yang mempunyai aktivitas
yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya, sehingga seakan tak mempunyai waktu
lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Untuk menambah jam belajarnya, di
sekolah tak jarang diberikan waktu pagi di luar jam belajar formal, yang
biasanya disebut sebagai jam nol. Sehingga, pagi-pagi sekali sang anak harus
sudah berangkat ke sekolah. Begitu pula setelah pulang sekolah, sang anak akan
les ini dan itu hingga sore hari. Atau, bagi siswa yang akan menghadapi ujian
nasional, akan mendapatkan pelajaran tambahan lagi yang khusus membahas
pelajaran yang masuk dalam ujian nasional. Dan, tak jarang, hal ini pun
dilakukan hingga sore hari.
Pada suatu hari, penulis yang
mempunyai aktivitas memberikan les privat kepada anak sekolah ketika sore hari
tidak bisa menemani belajar salah seorang anak karena ada keperluan, penulis
ingin meminta hari yang lain. Apa jawaban sang anak? Ternyata, dia sudah tidak
mempunyai hari selain hari itu. Hari-hari yang lainnya dalam seminggu telah
penuh dengan jadwal les privat. Lantas, penulis membatin dalam hati, “Kalau
begitu, kapan waktu bermainnya?” Sebab, masa anak-anak adalah masa yang tidak
boleh dihilangkan sama sekali dari dunia bermain. Apalagi, berkumpul dan
berinteraksi dengan teman-teman sepergaulannya, yang sudah barang tentu akan
berpengaruh kepada perkembangan jiwanya sebagai bagian dari makhluk sosial.
Kenyataan mengenai seorang anak yang
disibukkan dengan dunianya sendiri, sebagaimana contoh di atas, seorang anak
yang lebih asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu berupa PS, HP,
komputer, atau benda teknologi lainnya, memang membuat anak tidak banyak keluar
rumah, sehingga dia tidak dikhawatirkan terkena pengaruh buruk dari pergaulan
di luar rumah—meskipun mengenai hal ini juga masih perlu untuk didiskusikan
kembali karena teknologi juga tidak jarang memberikan dampak buruk walau anak
tidak banyak keluar rumah. Atau, kenyataan seorang anak yang disibukkan dengan
seabrek aktivitas belajar, dengan menambah les pelajaran ini dan itu, memang
bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orangtua kebanyakan bangga
akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai di
sekolahnya. Namun, kenyataan yang harus juga kita perhatikan, ternyata ada
kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan sosial.
Maka, tidak sedikit kita dapati di
lingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi kecerdasan
intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan bila
diminta berkiprah di organisasi sosial, baik itu semacam karang taruna, remaja
masjid, atau kelompok solidaritas tertentu. Inilah abak-anak yang cerdas secara
intelektual, namun gagap dalam kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika ia
telah menyelesaikan masa belajarnya, baik itu di sekolah maupun di kampus, mau
tidak mau, sudah barang tentu ia akan hidup dan berinteraksi dengan orang lain;
baik itu di lingkungan tempatnya bekerja maupun di tengah-tengah masyarakat.
Kecerdasan intelektual memang sangat
penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya
adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak
boleh diabaikan. Sebab, kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama lain
sering bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi,
persaingan yang sangat ketat di segala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan
materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan hubungan
sosial semakin berkurang. Di sinilah pentingnya kecerdasan sosial pada anak
untuk terus dikembangkan agar kelak anak-anak kita mampu hidup secara sosial
dengan baik.
Betapa penting kecerdasan sosial
dikembangkan karena saat ini juga masih banyak orangtua yang sangat bangga bila
anaknya berhasil dalam studinya di sekolah yang ditunjukkan dengan nilai rapor
yang bagus. Hal ini memang tidak salah, tetapi juga tidak bisa bila dikatakan
benar seratus persen. Sebab, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual ternyata
lebih berpengaruh bagi kesuksesan anak dalam kehidupannya di masa mendatang
bila dibanding dengan kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat kita ketahui dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman (1995 dan 1998). Dalam
penelitian tersebut, ternyata kecerdasan intelektual hanya memberikan
kontribusi dua puluh persen terhadap kesuksesan hidup sesorang. Sedangkan yang
delapan puluh persen sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial,
dan kecerdasan spiritual. Bahkan, dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan
intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak empat persen saja.
Mengapa bisa demikian? Seseorang
yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai
berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya
bisa bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain.
Sungguh, kemampuan—yang di antaranya—seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh
anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan di zaman
yang semakin ketat dengan persaingan. Dengan demikian, semoga anak kita lebih
mudah dalam meraih kesuksesan.
Semoga anak-anak kita tumbuh dan
berkembang dengan baik,
Akhmad Muhaimin Azzet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar